Kamis, 30 Juli 2009

Kereta Tak Berkuda

Hari Sabtu ini mama harus pergi ke Yogya untuk bertemu dengan penerbit buku. Berangkatnya hari Jum’at sore. Karena hari Senin-nya itu hari libur nasional, mama mengijinkan Shasa ikut. Tentu saja bersama papa juga.

Papa kebagian tugas menjaga Shasa selama mama sibuk dengan urusannya, Seperti yang sudah disepakati bersama, Shasa akan menghabiskan hari Sabtu itu dengan berenang. Shasa itu paling senang dengan yang namanya main air. Kalau sudah berenang bisa lupa waktu.

Untungnya urusan mama hanya memerlukan waktu satu hari. Hari Minggu pagi setelah sarapan mama mengajak Shasa jalan-jalan.

“Shasa pengen berenang lagi, Ma.. Kolam renangnya asyik loh.. ada seluncurannya,” kata Shasa.

“Aduh, Sha.. Kemarin hampir setengah harian berenang masih belum puas juga? Masa’ jauh-jauh ke Yogya hanya untuk berenang saja?” tanya Mama.

“Iya, Sha, papa yang nungguin di pinggir kolam renang saja sudah bosan melihat air kolam,” kata Papa.

“Papa sih gak ikutan berenang jadinya bosan deh. Kalau papa ikut berenang dijamin gak bosan, apalagi kalau main seluncuran,” Shasa nyerocos. “Memangnya kita mau kemana sih, Ma?”

“Ya, jalan-jalan lah.. menyusuri jalan-jalan di kota Yogya naik kereta tak berkuda,” jawab Mama.

“Kereta tak berkuda? Apaan tuh?” tanya Shasa heran.

Becak“Makanya ikut mama saja supaya gak penasaran,” kata mama sambil tersenyum misterius. Tak lama kemudian mereka berjalan beriringan keluar hotel. Dengan langkah pasti mama menuju tempat becak-becak yang mangkal di luar pagar hotel dan bicara dengan salah seorang di antara mereka.

“Yuk, kita naik,” ajak mama.

Dengan sigap pengemudi becak itu mengangkat bagian belakang becak supaya mama dan Shasa bisa masuk ke dalam becak dengan mudah. Papa ikut naik becak tapi di becak yang berbeda.

Perlahan becak pun mulai berjalan. Serrr.. Serr.. terdengar suara kayuhan tukang becak. Angin sepoi-sepoi terasa membelai wajah. Hmmm.. baru kali ini Shasa naik becak. Di tempat tinggal Shasa di Tangerang tidak ada becak. Shasa menoleh ke belakang. Papa melambaikan tangannya dan buru-buru menyiapkan kamera untuk memotret Shasa dan mama.

“Ma, katanya tadi mau keliling kota naik kereta tak berkuda,” kata Shasa.

“Yang kita naiki sekarang kan kereta tak berkuda,” jawab mama sambil tersenyum.

“Loh.. bukannya ini namanya becak?” tanya Shasa.

“Iya, becak itu kan kereta tak berkuda,” lagi-lagi mama menjawab sambil tersenyum.

“..kan ada lagunya..” sambung mama.

“Lagu apa?” Shasa bertanya penuh rasa ingin tahu.
Mama pun lalu menyanyikan sebuah lagu.
Saya mau tamasya berkeliling-keliling kota

Hendak melihat-lihat keramaian yang ada

Saya panggilkan becak kereta tak berkuda

Becak.. becak.. coba bawa saya

“Loh.. kok Shasa baru tau ya ada lagu anak-anak seperti itu..” kata Shasa.

“Itu lagu ciptaan Ibu Sud,” jawab mama. “Mama diajari lagu itu waktu mama sekolah taman kanak-kanak.”

“Hah..?! sudah lama sekali dong..,” Shasa menatap mamanya dengan mata yang membesar. “Mama nyanyi lagi dong..” kata Shasa.

Diiringi Shasa yang menggoyang-goyangkan badannya ke kiri dan ke kanan, mama meneruskan nyanyiannya.
Saya duduk sendiri dengan mengangkat kaki

Melihat dengan aksi ke kanan dan ke kiri

Lihat becakku lari bagai takkan berhenti

Becak.. becak.. jalan hati-hati

Serr.. Serr.. Becak pun terus melaju. Sesekali terdengar suara bel-nya dibunyikan. Ting-nong.. Ting-nong.. Ooo.. sekarang Shasa tahu mengapa becak dikatakan sebagai kereta tak berkuda. Becak diumpamakan seperti kereta hanya saja bukan ditarik oleh kuda melainkan dikayuh oleh pengemudinya.

Mereka berkeliling ke tempat penjualan batik. Kemudian ke tempat penjualan kaos dan juga tempat penjualan oleh-oleh dan makanan khas Yogya. Wahh.. ternyata jalan-jalan di Yogya naik becak tidak kalah menyenangkan dengan berenang di hotel. Saking senangnya, Shasa bahkan minta ‘tambahan waktu’ jalan-jalan naik becak.

Ketika akhirnya becak tiba kembali di hotel, sempat-sempatnya Shasa minta difoto sambil berpose di samping becak.

“Pinten, Pak?” tanya mama kepada tukang becak.

“Terserah Panjenengan,” jawab tukang becak.

“Lohh... kok terserah kula? kula mboten ngertos ongkose, Pak!” kata mama.

“Pinten mawon... terserah...,” tukang becak itu menjawab sambil tersenyum.

Shasa terbengong-bengong mendengar percakapan itu. Walaupun tidak mengerti bahasa Jawa tapi Shasa bisa mengira-ngira isi percakapan itu menanyakan berapa ongkos yang harus dibayar. Akhirnya mama mengeluarkan sejumlah uang. Sambil membungkukkan tubuhnya pengemudi becak menerima uang yang disodorkan mama dan mengucapkan terima kasih.

“Gimana, asyik kan keliling kota naik kereta tak berkuda?” tanya mama.

Shasa menganggukkan kepalanya. “Asyik dan ada bonus kejutannya,” kata Shasa sambil tersenyum lebar.

“Kejutan apa?” tanya mama heran.

“Shasa baru tahu kalau mama ternyata bisa bahasa Jawa padahal mama kan bukan orang Jawa. Belajar dari siapa sih, Ma?”

“Aaa.. da aja,” jawab mama sambil tersenyum. “Rahasia dong…”

Lemper Jepang

Biasanya kalau hari Minggu, Shasa suka bermalas-malasan. Bangun tidurnya sih tetap subuh tetapi setelah itu kembali tidur-tiduran sambil menonton film kartun kesukaannya. Mandi pagi? Wahh.. Mama sampai harus berulangkali menyuruh mandi baru deh Shasa mau mandi.

Hari Minggu ini ada yang berbeda. Pagi-pagi Shasa sudah mandi dan sarapan. Ada apa gerangan?

Ternyata hari ini papa akan mengajak mama dan Shasa ke toko buku. Kata papa, Shasa boleh membeli buku cerita kesukaannya dua buah. Setelah itu mereka akan makan siang di restoran.

Seperti yang dijanjikan, jam sepuluh pagi mereka pergi ke mall.

“Waahh.. besar sekali toko bukunya,” gumam Shasa terkagum-kagum. Koleksi buku anak-anaknya pun banyak sekali. Beberapa menit kemudian Shasa sudah asyik memilih-milih buku bacaan. Sesekali pandangannya beralih ke deretan rak yang memajang novel dewasa. Hanya untuk memastikan mama ada di sana. Sama seperti dirinya, mama juga tampak asyik memilih-milih buku.

“Habis ini kita mau ke mana, Pa?” tanya Shasa ketika selang satu jam kemudian mereka melangkah keluar dari toko buku.

“Papa mau mengajak Shasa makan Sushi,” jawab papa.

sushi“Apaan tuh Sushi?” Shasa kembali bertanya.

“Sushi itu makanan jepang terbuat dari nasi yang digulung dan diberi isi di bagian tengahnya. Ada yang isinya ikan, belut, daging atau yang lainnya.” Mama menjelaskan.

"Ooo..” Shasa mengangguk-anggukkan kepalanya. “Seperti lemper ya, Ma?”

lemper“Iya. Bedanya kalau lemper terbuat dari ketan sementara Sushi terbuat dari nasi. Lemper dibungkus daun pisang sementara beberapa jenis Sushi dibungkus Nori.”

“Nori? Apaan lagi tuh? Kok seperti nama teman Shasa?” Shasa kembali bertanya.

Mama dan papa tertawa mendengarnya. “Nori itu lembaran tipis berwarna hitam terbuat dari rumput laut,” kata mama. Shasa kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.

Di restoran, Shasa memesan Unagi Sushi yaitu Sushi yang berisi potongan belut. Shasa memang suka makan belut.

“Gimana, Shasa suka gak makan Sushi?” tanya papa setelah mereka selesai bersantap.

Shasa menggelengkan kepalanya.

“Lohh.. kenapa?” tanya papa lagi.

“Habis makannya harus pakai sumpit sih,” jawab Shasa. “Shasa kan gak bisa pakai sumpit.”

Mama dan papa tertawa mendengarnya.

“Kalau Shasa gak bisa pakai sumpit kan bisa pakai sendok dan garpu,” kata papa.

“Iya sih.. tapi Shasa lebih suka lemper Indonesia dibanding lemper Jepang. Pokoknya lemper Indonesia itu mak nyuuusss..” Shasa menjawab sambil mengacungkan dua jempol ke arah papa. “Lagian Shasa kan cinta makanan Indonesia.”

“Iya deehh..” kata mama dan papa serempak sambil tertawa.

Betul juga apa yang dikatakan Shasa. Kalau bukan kita yang mencintai makanan Indonesia, siapa lagi?

Untung Ada Alif

Siang itu cuaca mendung. Mobil jemputan yang sebelumnya penuh, sekarang terasa tak lagi sesak. Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan ramai. Mobil-mobil yang berisi anak sekolah lalu lalang. Rombongan anak sekolah yang bersepeda tampak melaju di sisi jalan. Mendadak terasa ada yang tidak beres dengan mobil jemputan yang tengah melaju.

“Ada apa, Wo?” tanya Rara ketika mobil akhirnya berhenti di pinggir jalan. Seperti teman-temannya, Rara memanggil supir mobil jemputan dengan sebutan ‘Uwo’.

“Uwo juga belum tahu,” jawab Uwo sambil turun dari mobil. Dengan seksama diperiksanya keempat ban mobil.

Yah...ban nya kempes...“Waahhh.. ban mobilnya kempes! Mungkin terkena paku,” kata Uwo. “Ayo kalian semua turun dulu dari mobil!”

Dengan patuh Rara, Shasa dan Alif turun dari mobil. Hanya tinggal mereka bertiga yang belum diantar pulang oleh Uwo.

“Kita duduk di situ saja, yuk!” ajak Rara sambil menunjuk bangku kayu yang ada di depan warung rokok yang kebetulan sedang tutup.

Aif berjalan mendahului. “Untung ban mobilnya kempes di sini. Coba kalau kempesnya di dekat sungai…”

“Yaa… kita duduknya di pinggir sungai lah sambil main air.” Rara melanjutkan kata-kata Alif.

Shasa tertawa terkikik-kikik mendengarnya. Duduk dipinggir sungai sambil main air? Ada-ada saja Rara ini! Kalau kecebur ke dalam sungai kemudian terseret arus, bagaimana?

Baru saja mereka duduk, mendung yang sejak tadi menghiasi langit berubah menjadi titik-titik air yang turun membasahi bumi. Rara, Shasa dan Alif berpandangan. Waduuuhhh.. kasihan Uwo yang sedang mengganti ban mobil.

Payung...Tanpa diduga, Rara berlari ke arah mobil. Beberapa saat kemudian tampak ia memayungi Uwo dengan payung yang ia ambil dari dalam mobil. Kelihatannya Uwo sempat menolak namun akhirnya bisa juga Rara memaksa Uwo agar bersedia dipayungi. Untunglah gerimis yang turun tidak bertambah deras. Bisa-bisa Uwo dan Rara basah kuyup karena payung yang digunakan Rara tidak terlalu besar.

Selama beberapa saat Alif dan Shasa terdiam. Baru saja Shasa akan mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba Alif berlari ke arah Rara. Dari tempatnya duduk, Shasa melihat Alif bicara dengan Rara. Mereka sempat tarik-tarikan payung sebelum akhirnya Rara menyerah. Sambil menutupi kepalanya dengan saputangan ia berlari ke tempat Shasa duduk.

Shasa menyambutnya dengan senyuman. “Aku sampai kaget waktu lihat kamu lari. Kirain kamu mau mau masuk ke dalam mobil. Gak taunya mau mayungin Uwo ya?” komentar Shasa.

“Habis, aku kasihan sama Uwo. Uwo kan sudah tua. Kalau besok Uwo sakit, siapa yang antar jemput kita, hayo?” Rara menjelaskan.

“Iya juga ya..,” gumam Shasa.

“Eh, aku gak nyangka Alif yang kelihatannya sombong ternyata baik hati,” Rara melanjutkan kata-katanya dengan setengah berbisik.

“Makanya jangan suka berprasangka buruk! Kalau bahasa Inggrisnya sih, Don’t judge a book by its cover,” kata Shasa sambil mengingat-ingat pelajaran bahasa Inggris yang dipelajarinya di tempat kursus. “Untung ada Alif! Jadi ada yang menggantikan kamu memayungi Uwo.”

Rara hanya nyengir mendengarnya. Berdua mereka memperhatikan Uwo yang masih sibuk dengan ban mobil dan Alif yang memayunginya. Ternyata perlu waktu yang tidak sebentar untuk mengganti ban mobil.

“Kasihan Alif,” celetuk Shasa. “Pasti tangannya pegal!”

“Cieeee.. segitu perhatiannya sama Alif,” ledek Rara. “Tuh, Uwo sudah selesai.”

Alif yang melihat Rara dan Shasa bermaksud lari ke mobil buru-buru berteriak, “Tunggu di situ! Nanti aku jemput!”

Rara dan Shasa berpandangan.

“Eh, Sha, tadi kamu dikasih coklat kan oleh Jasmine?” Sudah dimakan belum?” tanya Rara.

“Belum. Memangnya kenapa?” Shasa balik bertanya.

“Mana coklatnya?” Rara menadahkan tangannya.

“Bukannya tadi kamu juga dikasih coklat oleh Jasmine?”

“Iya, tapi sudah kumakan. Lagipula aku minta coklat kamu bukan buat aku,” kata Rara.

“Terus buat siapa?” tanya Shasa heran.

“Buat Alif,” bisik Rara sambil mengedipkan matanya.

Baru saja Shasa membuka mulutnya hendak mengajukan pertanyaan lebih lanjut, Alif sudah datang menghampiri mereka.

“Ayo ke mobil!” ajak Alif sambil memayungi Rara dan Shasa.

“Eh, jadi serasa tuan puteri nih dipayungi segala,” komentar Rara. Shasa tertawa terkikik-kikik mendengarnya. Alif hanya tersenyum.

“Untung ada Alif! Uwo jadi ada yang mayungin, ” kata Uwo ketika mereka semua sudah berada di dalam mobil dan mobil pun sudah melaju.

“Betul itu! Kalau gak ada Alif, gak ada yang mayungin Rara dan Shasa dari warung ke mobil,” Rara menyambung kalimat Uwo.

“Alif gitu lohh..!” Shasa ikut menimpali sambil kembali terkikik-kikik melihat ekspresi Alif yang tersipu-sipu.

Sebelum Alif turun di depan rumahnya, Rara memberikan coklat yang tadi dimintanya dari Shasa.

Coklat untuk Alif...“Eh, Lif, ini buat kamu,” kata Rara.
Alif tampak terkejut. “Lohh.. kok tumben Rara bagi-bagi coklat. Dalam rangka apa nih?” tanya Alif ingin tahu.

Tanpa dikomando, serentak Uwo, Rara dan Shasa menjawab, “… dalam rangka.. Untung ada Alif! Ha.. ha.. ha..”

Pengantar Susu Bertopi Merah

Sebuah sepeda berhenti di depan rumah Shasa. Pengemudinya yang bertopi merah mengambil sesuatu dari kotak yang terikat di boncengan sepeda. Dua kantong susu kedelai diulurkan ke arah Shasa yang kebetulan sedang berdiri di halaman luar rumahnya.

“Loh, kok bukan Bang Momo yang mengantar susu?” tanya Shasa manakala dilihatnya pengantar susu itu bukanlah orang selama ini mengantar susu kedelai ke rumah Shasa.

“Sekarang setiap hari Sabtu dan Minggu khusus untuk sektor perumahan ini saya yang mengantar,” pengantar susu itu menjelaskan dengan nada suara yang terdengar sedikit gugup. Letak topinya membuat wajahnya tidak terlihat jelas.

Shasa tidak bertanya lebih lanjut. Dibawanya dua buah kantong susu kedelai itu ke dalam rumah. Sekilas dilihatnya pengantar susu itu memandangnya namun buru-buru memalingkan wajahnya ketika mereka bertatapan. Shasa yang baru saja akan melangkah ke dalam rumah mendadak berpaling ketika didengarnya pengantar susu itu mengatakan sesuatu. Shasa mengerutkan keningnya. Kok sepertinya dia tadi mendengar pengantar susu itu berpamitan dengan memanggil namanya ya? Atau itu hanya perasaannya saja?

Esok harinya, pengantar susu itu datang tepat ketika Shasa sedang menyapu daun-daun pohon mangga yang berguguran.

“Ana, ini susunya!” sapaannya membuat Shasa menolehkan kepalanya.

“Kok kamu tahu namaku?” tanyanya heran. Hampir semua temannya memanggilnya Shasa. Hanya beberapa orang saja yang memanggilnya Ana.

“Eh, oh, ngg.. anu.. aku.. aku diberitahu Bang Momo,” jawabnya gugup.

Shasa menerima susu yang diulurkannya. Anak itu menundukkan kepalanya dan terburu-buru memutar sepedanya dan mengayuh menjauh. Shasa menatap laju sepeda yang menjauhinya sambil sibuk berfikir-fikir. Rasa-rasanya ia seperti mengenal pengantar susu itu tapi dimana ya? Hmm.. ia harus menunggu sampai tiba hari Sabtu untuk bisa bertemu pengantar susu itu. Bukankah kemarin ia mengatakan bahwa ia hanya mengantar susu setiap hari Sabtu dan Minggu?

Hari Sabtu minggu berikutnya, Shasa sedang bersepeda bersama papa ketika sebuah sepeda melaju mendahuluinya. Sepeda pengantar susu! Cepat-cepat Shasa mengayuh sepedanya. Berusaha agar ia bisa tiba di rumah bersamaan dengan si pengantar susu. Namun rupanya pengantar susu itu tahu niat Shasa. Ia mengayuh sepedanya semakin cepat.

Mama yang berada di luar pagar menatap heran ketika dua buah sepeda berhenti hampir bersamaan. Pengemudinya sama-sama terengah-engah.

“Loh, ada apa ini? Balapan sepeda?” tanya mama heran. Rupanya mama memperhatikan peristiwa yang terjadi sejak dari ujung jalan.

“Ini.. ini.. susunya, Tante,” kata pengantar susu itu masih dengan nafas memburu. Setelah mama mengambil susu yang disodorkannya, buru-buru ia menaiki sepedanya.

“Hei, tunggu dulu, nama kamu siapa?” Shasa bertanya.

Bukannya menjawab, pengantar susu itu mengayuh sepedanya dengan terburu-buru.

“Ada apa sih, Sha?” tanya mama bingung.

“Rasa-rasanya Shasa kenal dia, Ma, tapi dimana ya?” Shasa menjawab setengah bergumam sambil mengernyitkan keningnya.

“Kalau tidak salah, Bang Momo pernah bercerita kalau ia mempunyai seorang adik yang tinggal bersama neneknya di kampung halaman mereka. Mungkin dia itu adiknya Bang Momo yang sekarang tinggal disini,” kata Mama.

Shasa mendengarkan kata-kata mama sambil sibuk menggali ingatannya kenapa rasanya ia mengenal pengantar susu itu.

Esok paginya, Shasa sedang berdiri memperhatikan pohon sirsak yang sedang berbuah ketika terdengar seruan yang bernada peringatan.

Ulat Bulu“Awas, Na, ada ulat bulu di bajumu.”

“Hah?! Ulat?! Hiii..” kontan Shasa berteriak-teriak sambil melompat-lompat.

Mama dan papa yang mendengar teriakannya bergegas menghampiri. Namun mereka keduluan pengantar susu yang dengan sigap menepis ulat bulu itu dari baju Shasa di bagian belakang dengan menggunakan daun kering.

“Sudah.. sudah.. ulatnya sudah tidak ada,” kata mama berusaha menenangkan Shasa.

“Ulatnya sudah kabur, Na,” pengantar susu itu tersenyum melihat tingkah Shasa.

Sekilas lesung pipinya terlihat. Shasa yang masih melompat-lompat kegelian tertegun. Dilihatnya pengantar susu itu memutar arah sepedanya dan mulai mengayuh menjauh.

Keesokan harinya ketika jam istirahat sekolah tiba, Shasa menghampiri Idham yang asyik mendengarkan cerita Fabian sambil tersenyum.

“Hai..” sapanya. Kedua anak itu menoleh dengan terkejut terutama Idham.

“Makasih ya, kemarin kamu sudah menolongku dari ulat bulu.” Kata-kata Shasa membuat anak itu tertegun. Lesung pipinya yang sebelumnya terlihat mendadak hilang.

Shasa cekikikan. “Yang mengantar susu ke rumahku hari Sabtu dan Minggu itu kamu kan?”

“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanyanya pelan. Fabian hanya terdiam kebingungan.

“Ya tahu dong.. Tidak banyak yang memanggilku dengan nama panggilan Ana. Hampir semua teman-temanku mengikuti nama panggilanku di rumah. Lagipula diantara yang sedikit itu hanya kamu yang mempunyai lesung pipi.”

Idham hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia memang belum lama pindah sekolah setelah sebelumnya ia tinggal bersama neneknya.

Susu KedelaiSebenarnya tugas mengantar susu kedelai adalah tugas kakaknya. Ia sendiri yang berinisiatif menggantikan tugas kakaknya setiap hari Sabtu dan Minggu.

Tak dinyana salah satu pelanggan susu kedelai buatan ibunya adalah teman sekelasnya.

Dilihatnya Anastasia Shafarina tersenyum penuh kemenangan. Gara-gara salah panggil nama, ketahuan deh identitas pengantar susu bertopi merah…

Jangan Berlebihan Dalam Menghukum

Pada zaman dahulu ada seorang saleh yang selalu beribadah kepada Tuhannya. Pada suatu hari dia melakukan sebuah perjalanan atas ilham dari Tuhannya, karena perjalannya begitu jauh dan melelahkan maka diapun membawa serta beberapa orang temannya.

Ketika sampai di suatu tempat yang cukup terik orang saleh tersebut berkata kepada teman-temannya “Sekarang kita beristirahat sejenak untuk menghilangkan lelah, sebelum kita melanjutkan perjalanan” katanya, “Tapi di mana kita akan berteduh sedangkan wilayah ini adalah padang pasir yang sangat panas” sela salah satu temannya. “Kalau begitu kita cari tempat yang teduh di sekitar sini” kata yang lainnya.

Setelah berjalan berputar-putar mencari tempat berteduh akhirnya mereka menemukan sebuah pohon besar yang cukup rindang, akhirnya mereka menuju pohon itu dan menurunkan semua perbekalan di bawahnya. Sebagian mereka ada yang menghamparkan karpet untuk sekadar bersandar pada batang pohon dan sebagian lainnya tidur-tiduran. Sementara laki-laki saleh ini bersandar pada batang pohon besar itu, semuanya merasakan rindangnya pohon, ditambah semilir angin yang membuat mereka mengantuk.

Namun tiba-tiba seekor semut menggigit orang saleh yang sedang bersandar, maka Semutdengan serta merta dia bangkit lalu membangunkan teman-temannya yang lain, “Kalian bangun semua, aku telah digigit seekor semut” katanya dengan nada tinggi. Lalu dia memerintahkan kepada teman-temannya untuk mengambil semua perbekalan mereka. “Sekarang ambil api dan kayu bakar, lalu bakar sarang semut yang berada di bawah pohon itu” perintahnya. Maka beberapa dari mereka segera mengambil ranting-ranting kering untuk membakar sarang semut tersebut.

Ketika nyala api sudah tersulut dan telah siap untuk dilemparkan ke sarang semut, tiba-tiba sebuah suara terdengar dari langit “Wahai manusia kenapa engkau akan membakar seluruh semut itu, padahal yang menggigitmu hanya seekor” suara itu terdengar begitu dekat namun tidak ada satupun dari mereka yang melihat wujudnya.

Semuanya terdiam sementara suara itu telah hilang, “Hampir saja kita berbuat kesalahan besar” ucap orang saleh tersebut, “Sekarang bertaubatlah kepada Tuhan” lanjutnya. Maka orang saleh itu segera bersujud, sementara teman-teman yang lainnya mengikutinya. Rupanya suara itu adalah suara Tuhan yang telah menegur hambanya yang berlebihan dalam menghukum sesama makhluknya.

Do’aku

Kejadian itu hampir satu minggu berlalu, dan kakiku masih saja sakit.

“Ugh.. luka dilutut ini tidak kunjung sembuh..”, begitu celetukku. “Ya memang tidak lekas sembuh, apalagi kamu selalu bergerak”, kata ayahku menyahut.

Hari Jumat yang lalu, aku terjatuh dari sepeda kesayanganku saat melewati tikungan dijalan raya. Memang aku akui, aku sedikit melamun saat mengendarainya. Aku tidak menyadari kalau di daerah tikungan itu banyak pasir yang berserakan.

“Ini sudah ketiga kalinya, pasti kakak mengebut ya..”, ujar adikku.

“Tidak..”, tukasku.

“Mungkin roda depannya sudah tipis, jadi harus diganti yang baru..”, lanjutku.

“Tidak mungkin.. itu kan roda baru..”, jawab ibuku.

Benar juga, roda bagian depan memang tidak begitu tipis. Kalau dipikir ulang, mungkin karena aku tidak konsentrasi melihat jalan raya, jadi kurang hati-hati.

“Kalau begitu, pasti karena jalannya berpasir dan basah..”, ucapku.

“Ah, pasti kamu yang kurang hati-hati..”, kata ayahku.

Begitulah, hingga suatu hari aku bertemu dengan Kusma, sahabatku.

“Huuuh.. sebel!!”, teriak Kusma mendekatiku.

“Kenapa Kus?”, tanyaku.

“Ini nih... kakiku sakit gara-gara Malli..”, lanjutnya.

“Kok bisa?”, tanyaku lagi.

“Iya, dia kan berpapasan denganku dipintu kaca. Sudah tahu aku membawa barang banyak, dia bukannya membukakan pintu, malah mendorong pintunya kearahku. Karena itu, aku mundur kebelakang dan tanpa sengaja tumit kakiku terbentur meja. Sakit deh…”,curhatnya padaku.

Aku hanya menatap Kusma dengan pertanyaan didalam benakku, lalu…

“..Eh.. dia dengan santainya bilang, kenapa Kus.. sakit ya, ups! Kasihan.. ambil hikmahnya ya..”, lanjut Kusma dengan nada sebel.

Sesaat aku termenung. Benar, Malli memang keterlaluan. Tidak seharusnya dia berkata seperti itu. Tapi disisi lain kalimat Malli mengingatkanku pada sesuatu.

Ambil hikmahnya.

Aku lupa. Karena terlalu sering merintih kesakitan, aku lupa mengambil hikmah dari kecelakaan yang aku alami. Tuhan memberi musibah, bukan untuk disesali atau dirapati. Tapi agar makhluk ciptaannya tetap bersyukur terhadap apa yang Tuhan berikan.

“Ya Tuhan, terima kasih masih memberiku kesempatan untuk hidup. Semoga, luka dilututku ini cepat sembuh. Aku berjanji akan lebih berhati-hati lagi, konsentrasi dalam apapun dan tidak akan menyalahkan sesuatu karena kesalahanku sendiri.. amin”, do’aku sebelum tidur.

Tragedi Merica

Hari Minggu ini, Shasa akan membantu mama memasak. Kata mama, Shasa sudah cukup besar dan bisa berhati-hati dalam menggunakan pisau dapur. Menu yang akan dimasak adalah Sup Ceker kegemaran Shasa. Eh, sebenarnya bukan cuma Shasa yang suka Sup Ceker. Papa juga suka loh..
Berdua dengan mama, Shasa berbelanja keperluan membuat Sup Ceker ke tukang sayur yang mangkal diujung jalan. Ceker ayam, Kentang, Wortel, Kol, Buncis dan daun Seledri. Hmmm.. Shasa sudah tidak sabar ingin cepat-cepat memotong-motong sayuran.
PeelerSelesai sarapan, acara memasak pun dimulai. Mama mengajari Shasa cara menggunakan Peeler, pisau khusus untuk mengupas kulit sayuran yang tipis. Biasanya digunakan untuk mengupas Kentang dan Wortel. Sreett.. Sreett.. Dengan hati-hati, Shasa mulai mengupas Wortel. Setelah itu giliran Kentang yang dikupas. Selesai dikupas, wortel diiris dan kentang dipotong kecil berbentuk dadu.
Tok.. tok.. tok.. terdengar suara pisau beradu dengan talenan kayu yang digunakan sebagai alas untuk memotong Wortel dan Kentang. Selesai dipotong, keduanya diletakkan dalam wadah berisi air. Kata mama, kalau tidak direndam air, kentang yang sudah dipotong-potong akan berubah warna menjadi kecoklatan.
Jahe
“Itu apa, Ma?” tanya Shasa. Tugasnya mengiris wortel dan memotong kentang sudah selesai.
“Ini namanya Jahe. Gunanya untuk menghilangkan bau amis Ceker Ayam. Nanti Jahe ini akan dimemarkan dan direbus bersama-sama dengan Ceker Aym,” jelas mama.
“Bumbu Sayur Sop itu apa saja sih, Ma?” tanya Shasa ingin tahu.
“Bumbunya sederhana saja. Hanya Bawang Putih dan Merica yang dihaluskan kemudian ditumis dan dimasukkan kedalam rebusan Ceker Ayam,” Mama menjelaskan.
“Aduh, Sha, Mama lupa membeli merica,” Mama berseru panik saat membuka tempat merica ternyata dalam keadaan kosong.
“Coba tolong lihat, tukang sayur di ujung jalan masih ada tidak?” pinta mama. Shasa bergegas ke luar rumah.
“Tukang sayurnya sudah tidak ada, Ma,” lapornya. “Tidak usah pakai merica deh, Ma.”
“Aduh, Sha, nanti gak enak dong sayur Sop-nya,” keluh Mama.
“Beli di minimarket saja, Ma,” usul Shasa.
“Di minimarket biasanya hanya menjual merica halus. Dibanding dengan merica butiran, aromanya kurang. Tapi apa boleh buat..” Mama tampak berfikir sejenak. “Kalau begitu Shasa pergi ke minimarket bersama Papa membeli merica halus. Mama di rumah merebus ceker ayam. Bagaimana?”
“Oke deh,” Shasa langsung setuju. Dicarinya Papa yang dengan senang hati langsung bersedia mengantar dan menemani Shasa ke minimarket.
Tak lama kemudian Shasa sudah kembali tiba di rumah.
“Merica halus-nya tidak ada, Ma,” lapornya.
Mama mengerutkan kening.
“Benar tidak ada?” tanya mama memastikan.
“Benar,” Shasa mengangguk yakin. “Tuh, tanya saja papa kalau tidak percaya,” katanya lagi.
“Iya, tadi Papa lihat di rak tempat bumbu-bumbu tidak ada merica halus,” Papa mengiyakan.
Mama tampak berfiikir. “Coba Shasa ceritakan, yang ada di rak bumbu-bumbu itu apa saja?” tanya mama.
Shasa mengingat-ingat. “Disitu ada Garlic powder. Garlic itu Bawang Putih kan, Ma?” tanyanya.
Mama menganggukkan kepala. “Selain Garlic Powder ada apa lagi?” tanya mama dengan sabar.
“Ada ketumbar halus, garam halus, lada halus..”
Kata-kata Shasa terhenti manakala dilihatnya mama tersenyum lebar.
“Kenapa sih, Ma?” tanyanya bingung.
Merica / Lada halus“Shasa sayang, lada itu nama lain dari merica,” jawab mama sambil sibuk menahan senyumnya supaya tidak semakin lebar.
Shasa berpandangan dengan papa.
“Sudah sana balik lagi ke minimarket,” kata mama. “Cepat ya, Ceker Ayam-nya sudah empuk nih,” mama melanjutkan kata-katanya.
Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, Shasa mengekor di belakang papa yang segera beranjak dari dapur.
“Mana Shasa tahu kalau lada dan merica itu sama,” gumam Shasa.
“Papa juga baru tahu,” Papa berkomentar.
Di dapur mama tidak bisa lagi menahan tawanya. Ha..ha..ha